cah soax

Jumat, 20 Mei 2011

pengaruh dan kekuatan NU

selain terdapat pada pemikiran yang tidak lepas akar, juga ditumbuhkan oleh kedekatannya pada massa rakyat di lapisan bawah, terutama di pedesaan luas melalui pondok-pondok atau pesantren-pesantren yang tersebar di berbagai pulau. Pesantren merupakan pusat kebudayaan, sentra pendidikan kader , dengan sistem pendidikan unik, seperti penyatuan kerja otak dan kerja, badan, pengetahuan keterampilan dengan wacana berkomitmen manusiawi, .dalam upaya membangun manusia merakyat dan mengakar serta mandiri. Sekarang pesantren-pesantren ini berupaya menyesuaikan diri dengan laju perkembangan zaman. Sehingga adalah suatu kesimpulan ketinggalan perkembangan jika memandang pesantren sebagai lambang ketertinggalan, fanatisme dan trasionalitas. NU juga besar karena toleransinya serta kemampuannya mengelola perbedaan. Di dalam NU terdapat berbagai macam tendens pikiran atau aliran, tetapi ia mampu mengelola kebhinnekaan dirinya. Barangkali di sinilah terdapat dasar penjelasan mengapa NU juga mampu mengelola kebhinnekaan negeri ini sebagai suatu bangsa. Pertanyaan bagi NU Kalteng yng barangkali perlu didiskusikan dalam Konferensi Wilayah (Konwil), apakah NU Kalteng sudah mempunyai, telah mengkhayati dan melaksanakan pandangan serta kemampuan NU di atas ataukah tidak terjadi bias? Andaikan sudah, pasti NU Kalteng akan tumbuh membesar dan tidak berstatus gurem Pertanyaan begini muncul setelah melihat sikap NU dalam pilkada gubernur-wakil gubernur 2010 lalu dimana salah satu pasangan calon mengangkat slogan yang cenderung ghettoistik secara budaya. Ghettoistik tidak sesuai dengan pandangan NU yang memandang Pancasila sebagai dasar perekat berbangsa, bernegeri dan bernegara di negeri ini. Pelaksanaan prinsip menuntut keberanian untuk independent. Konwil barangkali adalah salah satu kesempatan publik untuk memeriksa diri. Dlam istilah lain disebut juga sebagai gerakan rektifikasi, gerakan pemeriksaan pikiran. Periksa diri dan kemajuan mempunyai kaitan erat. Program ke depan pun di susun tidak lepas dari kemampuan periksa diri alias menyimpulkan pengalman ini. Periksa diri yang serius memang menyakitkan, karena kebenaran mempunyai keberpihakannya yang tegar. Periksa diri obyektif menagih kita untuk beljar dari sejarah sehingga langkah ke depan tidak lepas akar tapi sekaligus tanggap zaman. Di dalam sejarah ini, ada nama Idham Chalid, salah seorang tokoh dan pemimpin nasional dari NU asal Kalimantan, yang menunjukan bahwa sebenarnya NU punya akar dalam di Kalimantan. Kalau akar dalam ini tidak melahirkan pohon rindang riap rimbun, pasti ada persoalan yang patut diketahui dan diperbaiki. Artinya NU Kalteng belum tanggap zaman. Dalam upaya menjadi tanggap zaman, gerakan pembetulan pikiran menjadi kuncii sebab tindakan, sikap bermula dari pikiran atau pandangan budaya. Pandangan dan sikap budaya merupakan dasar budaya politik geraka politik. Dalam soal budaya politik yang mendasari gerakan politik, Kalteng memang tertinggal paling tidak tiga abad jika diukur dari budaya politik Dayak sendiri. Padahal secara nasional masalah pandangan kebudayaan yang secara matematika berlanjut ke gerakan politik, NU telah menyelesaikannya dalam Muktamar Kebudayaan NU I yang diselenggarakan di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta, Senin 1 Februari 2010 . Melalui pembicaraan dengan kader-kader NU Kalteng, saya ketahui sayangnya hasil Muktmar yang dirumuskan dalam Surat Kebudayaan Nahdlatul Ulama kurang diketahui. Padahal Surat Kebudayaan yang disiapkan bertahu-tahun sebelumnya ini merupakan suatu dokumen sangat penting, bukan hanya bagi NU tapi juga bagi kalangan-kalangan lain non NU, karena ia berbicara maslah kebudayaan nasional. Barangkali pada kesempatan Konwil yang segera berlangsung, Surat Kebudayaan Nahdlatul Ulama produk Muktamar Kebudayaan NU I ini, akan ada baik dan pentingnya jika dokumen yang mempunyai nilai nasional serta tanggap zaman ini, pandangan budaya yang meninggalkan ghettoisme, dibicarakan sebagai salah satu satu acuan periksa diri serta menyusun program ke depan. Karena terkesan Dokumen kurang diketahui bersama ini, ia saya sampaikan, barangkali bisa diedarluaskan di Konwil yang akan dilangsungkan di Asrama Haji Palangka Raya nanti.

Surat Kebudayaan Nahdlatul Ulama
Realitas kebudayaan kita akhir-akhir ini sedang berada pada posisi yang terus mengalami pengasingan—ditinjau dari keberadaannya yang kurang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan baik pada wilayah politik, ekonomi, sosial, maupun intelektual. Kebudayaan juga berada pada kondisi yang terus mengalami pemiskinan—ditinjau dari kemerosotan, pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot, maupun cakupannya dalam kehidupan secara umum. Krisis keindonesiaan yang sekarang ini mendera bangsa kita, basisnya adalah krisis kebudayaan ini.

Posisi dan kondisi kebudayaan tersebut tercipta sebagai akibat dari praktik dominasi yang dilakukan oleh tiga kekuatan utama:


1. Kekuatan kapitalisme pasar yang menilai kebudayaan dari sudut pandang pragmatisme pasar dan melakukan komodifikasi terhadap kebudayaan (baik kebudayaan sebagai khazanah pengetahuan, sistem-nilai, praktik dan tindakan, maupun benda-benda hasil ekspresi budaya), sehingga manusia ditempatkan sebagai objek ekonomi dan bukan subjek daripadanya.


2. Kekuatan negara yang menempatkan kebudayaan sebagai lebih sebagai alat pendukung kekuasaan (legitimasi politik), dan menempatkannya sebagai benda mati serta menjadikannya sebagai komoditas pariwisata untuk mengumpulkan devisa, yang artinya negara telah menempatkan dirinya sebagai sub-kapitalisme pasar dalam kaitannya dengan kebudayaan dan bukan menempatkan kebudayaan sesuai definisi dan perannya yaitu sebagai kumpulan pengetahuan, makna, nilai, norma, dan praktik serta berbagai materi yang dihasilkannya (atau singkatnya kebudayaan sebagi formula bagaimana suatu masyarakat melangsungkan kehidupannya) .

3. Kekuatan formalisme agama yang menempatkan kebudayaan bukan sebagai energi sosial yang menjadi penopang tumbuh-berkembangnya harkat manusia sebagai khalifah fil ardl, sehingga tidak diperhitungkan secara proporsional dalam pengambilan keputusan hukum oleh para pemegang otoritas keagamaan, dan dalam kadar tertentu mereka justru menempatkan kebudayaan sebagai praktik yang “menyimpang” dari ketentuan hukum yang mereka anut tersebut.


Atas dasar itu, untuk mengembalikan harkat kebudayaan sebagai artikulasi pemuliaan manusia dan prosesnya untuk mencapai integritas kemanusiaannya, sebagai arena penegasan dan pengembangan jati diri kebangsaan Indonesia, kami merasa perlu mengambil sikap kebudayaan sebagai berikut:


1. Menolak praktik eksploitasi terhadap kebudayaan oleh kekuatan ekonomi pasar yang memandang para pelaku budaya beserta produknya berada di bawah kepentingan mereka.


2. Mengembalikan kesenian ke dalam tanggungjawab dan fungsi sosialnya. Dalam hal ini seniman melakukan kerja artistiknya dengan cara melibatkan diri dengan masyarakat, untuk mengungkap, menyampaikan, dan mentransformasikan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat melalui karya seni yang mereka ciptakan dengan melakukan eksplorasi estetika yang seluas dan sekomunikatif mungkin.

3. Menolak kecenderungan karya seni yang memisahkan diri dari masyarakat dengan berbagai alasan yang dikemukakan, entah berupa keyakinan adanya otonomi yang mutlak dalam dunia seni yang artinya seni terpisah dari masyarakat, maupun universalitas dalam suatu karya seni yang artinya karya seni terbebas dari ikatan relativisme historis suatu masyarakat.


4. Memperjuangkan kebudayaan (baik sebagai khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan ideologi suatu masyarakat; maupun–terlebih– sebagai praktik dan tindakan mereka dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaannya, lengkap dengan produk material yang mereka hasilkan) sebagai faktor yang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan negara, sehingga kebudayaan dapat menjadi kekuatan yang menentukan dalam setiap kebijakan yang mereka putuskan.


5. Membuka ruang kreativitas seluas mungkin bagi para seniman, baik tradisional, modern, maupun kontemporer, yang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan kesenian yang disebabkan oleh kebijakan politik dan birokrasi negara, dominasi pasar, maupun kekuatan formalisme agama.

6. Merumuskan dan mengembangkan “fiqh kebudayaan” yang mampu menjaga, memelihara, menginspirasi dan memberi orientasi bagi pengembangan kreativitas masyarakat pada wilayah kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya sebagai khalifah fil ardl dan sekaligus warga masyarakat-bangsanya.

7. Keindonesiaan adalah tanah air kebudayaan kami. Oleh karena itu, di dalam dinamika kesejarahannya, ia menjadi titik pijak kreatifitas kami, Realitasnya yang membentang di hadapan kami, menjadi perhatian dan cermin bagi ekspresi dan karya-karya. Kami ingin tanah air kebudayaan kami menjadi subur oleh tetes-tetes hujan keringat estetik bangsa ini.***


Diputuskan pada Muktamar Kebudayaan NU I di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta.

(Sumber: ‘’NU Online’’, Ahad, 7 Februari 2010 12:11.)

Politik Kebudayaan dan Khittah NU

Duta Masyarakat | 22 Maret 2010

oleh: FATHOR RAHMAN JM
Kontributor dalam Buku Sarung & Demokrasi



Sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan (Islam), tugas dan tujuan utama Nahdlatul Ulama (NU) sebenarnya adalah dakwah, menegakkan hukum Tuhan di muka bumi. Hal ini sama saja sebenarnya dengan organisasi-organisasi sosial keagamaan (Islam) lainnya di Nusantara. Namun satu hal yang membedakan NU dengan organisasi-organisasi lain tersebut. Yakni, sikap akomodatifnya terhadap budaya.

Paradigma keberagamaan masyarakat NU berpijak pada nilai-nilai keislaman universal yang tumbuh dan berakar kuat dalam tradisi keilmuan seluruh umat Islam tradisionalis, khususnya dalam proses Islamisasi awal di Nusantara.

Paradigma ini dapat dilacak dalam epistemologi pemikiran keagamaan NU yang lekat dengan kelompok pemikiran keislaman Ahl al-Sunnah wa al-Jam
’ah (Sunni). Pemikiran keagamaan Sunni berusaha memadukan antara corak pemikiran naqli (dogmatis-tekstualis) dan aqli (rasionalis-kontekstualis).

Dengan bekal paradigma tersebut, masyarakat NU dapat menempatkan diri sebagai bagian dari keragaman (pluralitas) ciptaan Tuhan di muka bumi ini. Al-hasil, sikap toleransi (tasamuh), moderat (tawasuth), proporsional (tawazzun), dan adil (ta’adul) menjadi pijakan dasar dalam segala motivasi dan perilaku masyarakat NU.

Hal inilah yang menghasilkan sikap akomodatif masyarakat NU, khususnya terhadap budaya lokal. Bagi NU, dalam kegiatan dakwah, budaya lokal bukanlah rival yang harus dibasmi. Justru, budaya lokal dianggap sebagai penunjang atau fasilitas dalam menyampaikan dakwah, sebagaimana dakwah yang dilakukan Kanjeng Sunan Kalijaga yang menjadikan pertunjukan seni budaya lokal sebagai sarana dakwah.

Budaya lokal adalah peradaban kecil, sedangkan Islam adalah peradaban besar. NU mengibaratkan budaya lokal seperti aliran sungai kecil yang bisa menyatu dan menambah debit air sehingga menjadi sungai besar (peradaban Islam). Dari banyak budaya lokal itulah budaya Islam yang besar itu berasa. Tanpa sungai-sungai kecil tersebut, sangat sulit menemukan sungai-sungai besar.



Muktamar NU di Makassar

Topik mengenai interaksi NU dengan budaya lokal serta kaitannya dengan Khittah NU 1926 menjadi sangat relevan dijadikan agenda pembahasan dalam Muktamar NU di Makassar. Selama ini, aspek khittah NU yang mendapat perhatian intensif justru hanya masalah interaksi NU dengan politik kekuasaan. Padahal, sebagaimana yang pernah di-dawuh-kan KH Muchit Muzadi, pemulihan khittah NU bukan hanya dalam politik praktis. Politik praktis hanya sebagian kecil dari sasaran khittah. Banyak segi yang harus diperhatikan terkait dengan khittah.

Untuk dapat mengekstensifkan ruang wacana khittah NU, maka NU perlu memperhatikan kembali apa yang pernah difatwakan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, bahwa posisi NU berdiri di “tengah” (tawasuth) sebagai penjaga tradisi keagamaan masyarakat lokal dari ancaman gerakan puritanisme Islam. Untuk mengaplikasikan fatwa ini, NU tidak bisa tidak selalu meneguhkan politik kebudayaan.

Kalau dicermati, sebenarnya politik kebudayaan inilah inti dari Khittah NU 1926. Sebab, meneguhkan politik kebudayaan dapat memungkinkan NU mengepakkan sayap dakwah dan pendidikannya selebar mungkin dalam segala aspek kehidupan tanpa merasa rikuh dan asing dengan masyarakat budaya setempat. Ini dapat dibuktikan dengan berperannya NU dalam segala bidang kehidupan, seperti bidang agama, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Hal itu merupakan keuntungan bagi siapa saja yang tekun mengembangkan politik kebudayaan.

L Bonet (2007) mengungkapkan empat alasan pentingnya mengembangkan politik kebudayaan. Pertama, nilai strategis budaya sebagai penyebar standar simbolis dan komunikatif. Kedua, perlunya menempa identitas kolektif. Ketiga, politik kebudayaan berdampak positif pada ekonomi dan sosial karena mengembangkan kreativitas. Keempat, perlu memelihara kekayaan kolektif (budaya, sejarah, tradisi, dan seni). Keempatnya mengandaikan penerimaan keragaman masyarakat, hal yang sebenarnya telah ditekuni oleh NU (Haryatmoko, 2009).

Karena itu, tidak heran kalau dalam sejarah dan garis perjuangannya di Nusantara, NU tercatat sebagai organisasi yang terdepan dalam memperjuangkan multikulturalisme. Ya, NU menjadi pelopor adanya pengakuan terhadap keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi dalam suatu komunitas skala besar, dan masyarakat mengakomodasi segala perbedaan budaya sehingga keunikan identitas masing-masing mereka diakui.

Hal ini menjadikan NU sebagai organisasi yang mampu merekatkan hubungan antarmasyarakat Nusantara yang majemuk, sehingga menguatkan persatuan bangsa dalam segala aspek pluralitasnya. Kalau mau jujur, dalam hal inilah jasa NU teramat besar.

Selain itu, ketekunan NU dalam membangun politik kebudayaan merupakan aset paling berharga bagi NU untuk selalu menjadi pelopor dalam segala kegiatan politik dalam arti luas, sebagaimana yang diartikan Ginsburg (1996), sebagai kontrol terhadap alat-alat produksi, reproduksi, konsumsi, dan akumulasi daya-daya material serta simbolis.

Hal yang demikian tidak terbatas pada pengertian perebuatan kekuasaan dalam pemerintahan, melainkan melingkupi segala aspek kehidupan manusia. Kepeloporan dalam kegiatan politik yang demikian dapat dilihat dalam sejarah perjalanan NU sejak lahir hingga saat ini. NU terlibat dalam politik kebangsaan, kerakyatan, dan kekuasaan.

Keterlibatan NU dalam politik kekuasaan sebenarnya dapat dikatakan sebagai kodrat atau konsekuensi logis dari kenyataan bahwa NU adalah organisasi keagamaan (Islam), agama dengan penganut terbanyak di Indonesia. Dalam The Interpretation of Cultures (1996), Clifford Geertz memetakan struktur Islam Jawa (Nusantara) yang ia sebut sebagai religion as a cultural system (agama sebagai sistem budaya).

Dalam hal ini, agama sangat potensial dijadikan komoditas politik, karena praktik dan sistem teologi keagamaan mampu menciptakan kesatuan nilai yang menyedot ketundukan massa. Dari sini terciptalah primordialisme berdasarkan nilai keagamaan, yang dalam kalkulasi pangsa politik sangat potensial dan menguntungkan. Tidak mengherankan kalau dalam setiap ada event politik kekuasaan NU menjadi sesuatu yang menarik karena besarnya kantong suara yang dimiliki NU. Lebih-lebih ketika NU menyatakan diri kembali ke khittah yang sering dimaknai sebagai sikap apolitik.

Jadi, dalam Muktamar NU di Makassar, para muktamirin harus bisa memilih pemimpin yang mampu meneguhkan dan mengembangkan politik kebudayaan NU sebagai inti dari Khittah NU 1926. Wallahu a’lam.

SUMBER : DHUTA MASYARAKAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar