cah soax

Jumat, 01 Juli 2011

Kesederhanaan Hidup Imam al-Ghozaly

Dalam dunia Tasawuf, sosok Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali sudah mashur dan sudah begitu banyak kaum muslimin yang mengenalnya. Namanya hingga kini masih diabadikan sejarah berkat kecerdasan otak dan begitu luasnya akan ilmu pengetahuan yang beliau miliki, sampai-sampai karyanya yang sangat fenomenal “Ihya’ Ulumuddin” mendapat pengakuan dari salah satu ulama’, bahwa kitab tersebut adalah kitab terbaik setelah Al-Qur’an. Di mana kita tahu, di dalamnya beliau sangat kompleks dalam menjabarkan dan menerangkan kesederhanaan hidup yang sepatutnya dijalani seseorang demi menggapai ridlo dari Allah SWT. Sikap Waro’, Zuhud, Tawaddu’ , dan menjauhkan diri dari penyakit hati, serta konsep hidup lainnya yang bisa diterapkan oleh siapapun dan dalam kondisi apapun.

Salah satu konsep kesederhanaan hidup yang ditawarkan beliau dalam artikel kali ini adalah membuang jauh sifat Riya’ atau dalam bahasa jawanya biasa disebut pamer (menampakkan amal perbuatan karena ada tujuan selain Allah SWT). Riya’  salah satu perbuatan yang paling membahayakan yang bisa merusak amal seseorang, sampai-sampai dalam hadistnya Rosulallah menceritkan ''Di hari kiamat nanti ada orang yang mati syahid diperintahkan oleh Allah SWT untuk masuk ke neraka. Lalu orang itu melakukan protes, 'Wahai Tuhanku, aku ini telah mati syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku dimasukkan ke neraka?' Allah menjawab, 'Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, agar dirimu dikatakan sebagai pemberani.
Coba anda renungkan, betapa ruginya orang yang diceritakan nabi di atas, ia yang telah mengorbankan nyawanya dalam medan peperangan, tetapi apalah yang ia dapatkan, setetes darahpun yang ia tumpahkan dalam medan tempur tak bisa mengantarkannya ke surga dan ridlo Allah SWT. Inilah efek samping seseorang yang mengerjakan amal karena ingin mendapatkan kata-kata pujian atau sanjungan dari seseorang, amal yang ia lakukan tidak lagi bermuara kepada ridlo Allah SWT.
Sejenak kita melihat fenomena yang terjadi dewasa ini, banyak model-model orang yang mengerjakan suatu amaliyah supaya ia bisa dikatakan wah, dan mendapat stigma dari masyarakat bahwa ia seorang yang ahli ibadah. Mereka telah menyusun berbagai konsep dan trik agar ia betul-betul dikatakan orang hebat, ahli puasa, ahli ibadah, dan lain sebagainya. Mereka mengemasnya mulai dari mengenakan pakaian compang-camping lanyaknya orang gila supaya dikatakan bahwa ia orang sufi atau ahli tasawwuf, memanjangkan rambut serta kukunya, bahkan tak banyak dari mereka yang tidak mau mandi, karena ia menganggap dengan berpenampilan seperti itu, stigma baik dari masyarakat mudah ia peroleh. Ada lagi yang menampakkan bahwa ia seolah-olah orang yang suka sujud atau ahli sholat, hal ini dikuatkan dengan bekas sujud yang begitu jelas sekali terlihat di jidaknya. Entah apakah ia memang betul-betul ahli sujud atau bukan, yang pasti Allah maha melihat dan mengetahui apa yang kita kerjakan.
Kesemuanya itu menunjukkan bahwa orang zaman sekarang lebih senang apabila segala perbuatan baiknya atau ibadahnya diketahui banyak orang. Padahal agama telah menjelaskan, bahwa ibadah atau amaliyah yang baik itu adalah amaliyah yang tidak diketahui orang banyak, dan salah satu tanda bahwa seseorang betul-betul iklas dalam beribadah adalah lupa bahwa ia pernah melakukan satu amaliyah baik, atau dengan kata lain tidak pernah mengingat-ingat perbuatan baiknya, apalagi sampai mengobral amaliyahnya tersebut.
Imam Ghozali telah mengajarkan kepada kita, hendaknya kita hidup yang wajar-wajar saja, netral, dan apa adanya. Kita hidup jangan suka model-model, apalagi diperbudak kata “berpura-pura”. Pura-pura sebagai ahli tasawwuf atau seorang sufi, padahal kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan kelakuannya kaum sufi, pura-pura sebagai ahli ibadah, padahal dalam realitanya, ia masih senang mengoleksi banyak dosa, dan lain sebagainya. Kita kaya, kita orang miskin, pejabat, guru, tukang becak, petani, polisi, ataupun kyai, di hadapan Allah semuanya sama, yang membedakan hanyalah amal kita. Perlu kita ketahui, bahwa Allah SWT tidak melihat amal seseorang dari penampilan atau casingnya, akan tetapi Allah melihat hati mereka. Iklas adalah pekerjaan hati, dan hanya Allah saja yang mengetahui keiklasan hati seseorang. Sedangkan sombong, pamer, dan penyakit hati lainnya, hanya akan membawa si empunya pada satu kata, yakni “rugi”.
Kita hidup harus berlomba-lomba dalam melakukan amal kebaikan, bahkan Allah menyuruh akan hal itu. Bukan malah sebaliknya, berlomba untuk mencari sanjungan atau ngoyok dalam mencari pujian dari seseorang. Perlu juga kita ketahui, bahwasannya para Auliya’illah atau para kekasih Allah tersebut tidak senang bila mendapatkan pujian dari seseorang, karena secara perlahan, pujian tersebut akan mengantarkan seseorang untuk bersikap kibir atau sombong dan merasa dirinyalah yang paling hebat. Mereka juga tidak senang apabila amaliyahnya kepada Allah diketahui banyak orang. Jika pada zaman sekarang ada seseorang yang memiliki sikap tidak sama dengan para Salafunah Sholeh atau para pendahulu kita, maka kiranya patut untuk dicurigai, jangan-jangan ia bukan Salafunah Sholeh akan tetapi Salafunah Tholeh.